Desa Bumiaji kota Batu tak seramai dulu. Sejak kebun apel melemah dan wisata melambat, panggung Bantengan kehilangan penonton. Topeng banteng di balai desa dibiarkan berdebu, anak-anak lebih betah menunduk ke gawai daripada menyaksikan serudukan banteng. Warisan yang dulu lantang, kini sudah mulai senyap tergerus zaman.
Di tengah sepi itu, Anjani Sekar Arum, putri Batu yang menghirup budaya serta tradisi Bantengan, gelisah akan redupnya warisan budaya yang kaya.
Tidak habis akal, Anjani memberikan ide cemerlang dengan memindahkan panggung Bantengan ke medium yang bisa dibawa ke mana saja: kain. Menurutnya, lewat kain semua lapisan masyarakat bisa menikmati warisan budaya bantengan. Bahkan, lewat kain ini menjadi solusi cerdas agar anak-anak mau berpaling dari gawainya.
“Bantengan itu merupakan warisan nenek moyang kita, dan kita memiliki kewajiban untuk melestarikannya. Kita tidak boleh membiarkan budaya ini terpinggirkan, terutama karena kita adalah penjaga budaya.”
Anjani dengan tegas dan lantang mengatakan hal tersebut hingga akhirnya ia mendirikan Sanggar Batik Tulis Andhaka di Batu (kini di Bumiaji), merancang motif Batik Bantengan, lalu melatih puluhan anak hingga produksi rutin puluhan lembar tiap bulan.
“Saya lebih memilih anak-anak, karena ide mereka lebih kaya dan ekspresif… Selain itu mengapa anak dengan ekonomi lemah, karena saya memiliki cita‐cita untuk meratakan kesejahteraan masyarakat Kota Batu,” begitu kata Anjani.
Bantengan yang tadinya mulai asing, kini kembali hadir dalam keseharian, sekaligus membuka penghasilan bagi para pembatik muda.
Anjani memulainya dengan tujuan sederhana nan mulia. Namun, siapa sangka, langkah kecil itu justru membawanya pada harapan yang lebih besar. Dengan program yang melibatkan anak-anak muda untuk bergerak bersama, ia menerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2017 dari PT Astra International Tbk, lengkap dengan dukungan dana dan pembinaan.
Anjani membuktikan, budaya tidak hanya dipertontonkan; ia bisa dikenakan, menghidupi, dan menguatkan identitas daerahnya.
Pelestarian Budaya yang Mulai Asing – Asal Muasal Batik Bantengan

Namun, perjalanan Anjani memperkenalkan budaya Bantengan lewat batik hingga meraih apresiasi SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards 2017 tidaklah singkat.
Ketika panggung Bantengan makin jarang dibentang dan topeng-topeng dibiarkan usang, kesenian itu perlahan terasa asing di kampungnya sendiri. Anjani Sekar Arum besar di keluarga penggiat Bantengan bukan hanya sekedar melihat sebagai tarian serudukan banteng belaka melainkan warisan leluhur dan penanda identitas Batu.
Ia gelisah: “Setiap daerah harus punya batik khas. Mengapa kotaku belum punya?”
Dari kegelisahan itulah ia mencari cara agar Bantengan tak hanya dipentaskan, tetapi bisa dikenakan.
Mulai 2010 Anjani memilih untuk belajar membatik. Di kampus tak ada pengajar batik, maka ia menimba ilmu ke Yogyakarta dan Solo, belajar teknik pewarnaan dan proses batik dari hulu ke hilir. Ia menutup studi dengan skripsi tentang batik dan menolak tawaran S2 serta mengajar demi satu tujuan: melahirkan Batik Bantengan.
Agustus 2014 ia membuka sanggar “Batik Tulis Banteng Agung/Andhaka” dekat Alun‑Alun Batu. Di penghujung tahun itu, pameran tunggalnya di Galeri Raos dengan menampilkan 54 karya hampir habis terjual. Kesuksesan ini membuat istri Wali Kota Batu saat itu, Dewanti Rumpoko, mengajak Anjani membawa pameran Batik Bantengan ke Praha, Republik Ceko. Dua pekan jelang keberangkatan, ia sadar hanya mampu menyiapkan 10 lembar kain karena kurangnya pembatik yang pas dan berkualitas.

Sejak kesulitan Anjani mencari pembatik yang cekatan dan tekun itu, akhirnya di tahun 2015 Anjani memilih untuk melatih anak‑anak di sanggar untuk mencari bakat-bakat yang lebih fresh. Hingga 2017 tercatat 58 anak belajar membatik, 28 di antaranya masih aktif dengan produksi rata‑rata 45 lembar per bulan.
Pada 2019 ia memindahkan sanggar batiknya ke Dusun Binangun, Bumiaji, memperluas dampak positif batik Bantengan dengan mengajak petani belajar membatik sebagai sumber penghasilan tambahan. Dan dari situlah akhirnya lahir batik Bantengan dengan berbagai motif, mulai dari motif tanduk, cemeti, hingga flora-fauna.
Begitulah Anjani membangkitkan budaya yang mulai terasa asing hanya melalui kain. Bantengan bukan lagi menunggu penonton, melainkan menemani keseharian warganya untuk dipakai, dipamerkan, dan diceritakan ulang dari Batu ke mancanegara.
Berkreasi Lewat Batik – Pemberdayaan Ekonomi untuk Desa dan Anak Muda

Pada awal sanggar berdiri, Anjani sering menutup biaya operasional lewat saku pribadinya; entah itu untuk kain, pewarna, dan lainnya dari gajinya sebagai guru honorer. Ketika bahan habis sementara pesanan menunggu, ia mengaku pernah menggadaikan barang di rumah dengan harapan asal anak-anak tetap bisa membatik. Pelestarian budaya ia jalankan dengan model sederhana: karya dulu, hitung belakangan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Di saat Anjani kerepotan mencari pembatik yang tekun, akhirnya ia bertemu dengan Aliya Diza Rihadatulaisy, bocah 9 tahun yang ingin belajar membatik pada tahun 2015. Saat itu, Anjani belum punya sanggar sehingga ia menggelar peralatan membatik dan mengajar di teras rumah yang ala kadarnya. Bahkan, pada saat itu proses pewarnaan dilakukan di kamar mandi yang menjadi sasaran amarah orang tuanya karena lantai meninggalkan jejak bekas pewarna batik.
Kembali ke Aliya. Menurut Anjani, Aliya belajar dengan cepat, desainnya fresh, dan karyanya laku. Prestasi demi prestasi diraih Aliya sehingga mematik rasa penasaran dan semangat teman-temannya untuk ikut datang membatik. Sanggar beralaskan keramik teras rumah sederhana itu pun lama-lama menjadi lebih ramai setiap pulang sekolah oleh anak-anak yang getol membatik.
Anjani lalu membangun ekosistem. Ia bermitra dengan Dinas Pendidikan Kota Batu untuk menularkan “virus batik” di sekolah-sekolah; para siswa didiknya bahkan menjadi pengajar ekstrakurikuler di sekolah masing-masing. Skema bisnisnya sangat pro-anak: semua alat disediakan, bahan boleh “ngutang” dan dibayar hanya jika kain terjual.

Hasil penjualan 90% untuk pembatik muda, 10% untuk operasional sanggar. Selain memberi keterampilan dan penghasilan, Anjani ingin anak-anak punya ruang aman dan bangga pada budayanya. Dengan begitu, anak yang doyan menundukan kepala ke layar gadget, kini beralih fokus membatik menghasilkan karya yang bernilai di mata masyarakat hingga mancanegara.
Bahkan, setiap hasil karya anak-anak itu dampaknya terasa ke dapur-dapur warga. Dari yang dulu hanya puluhan lembar, kini produksi tembus sekitar 200 potong per bulan. Setiap anak rata-rata menghasilkan 4–5 lembar per bulan dengan waktu pengerjaan maksimal satu minggu. Omzetnya mencapai puncak hingga sekitar Rp40 juta per bulan.
Namun sayangnya, di tengah laju digital, Anjani tetap memilih jalur luring untuk menjaga orisinalitas.
“Saya belum berani untuk menjualnya via online, karena sangat rentan dengan penjiplakan. Namun alhamdulillahnya sampai hari ini tidak pernah ada batik yang menumpuk di rumah,” ujarnya pada tahun 2018 silam.
Menurutnya, setiap kain adalah cerita tentang tanduk dan cemeti, tentang tangan mungil yang belajar sabar. Semua cerita itu menemukan pembelinya tanpa perlu etalase di dunia maya.
Batik Bantengan Membuka Peluang Wisata Edukasi yang Inovatif

Batik Bantengan bukan hanya menghidupkan dapur-dapur pembatik muda di Bumiaji; ia juga membuka jalur wisata edukasi yang membuat orang datang bukan hanya membeli batik, tapi untuk belajar, menyentuh, dan menjadi bagian dari budaya Bantengan.
Pintu kesempatan wisata edukasi terbuka lebar dengan diawalinya pameran tunggal di Galeri Raos, Batu pada tahun 2014 silam. Bak memberi cahaya di tengah temaramnya langit, acara pameran itu bahkan sampai mematenkan Batik Bantengan sebagai Batik Khas Kota Batu. Berkat itu pula, di sepanjang kantor Pemkot, warga Batu bisa melihat karya Anjani lewat seragam bermotif Batik Bantengan.
Tak lama setelahnya, bersama pemerintah kota, Anjani diboyong tampil di pameran batik di Praha, Republik Ceko.
“Waktu pameran ke Praha, umur Batik Bantengan belum setahun,” kenangnya.
Alhasil, dari sana akhirnya Anjani semakin bisa melebarkan sayapnya melalui Batik Bantengan karena panggung pameran Batik Bantengan berlanjut hingga bertahun-tahun kemudian, termasuk mengadakan pameran “Metamorfosa” yang merangkum delapan tahun lika-liku perjalanannya melahirkan Batik Bantengan.

Dari setiap pameran, ide wisata edukasi tumbuh dan mengakar. Anjani membayangkan orang tidak sekadar melihat kain di etalase, tapi mencoba mencanting, memilih warna, dan mendengar kisah di balik motif tanduk, cemeti, dan jurus Bantengan.
Sampai-sampai, ia menggandeng agen perjalanan, menyusun paket “membatik sehari” berpadu kuliner desa. Kunjungan yang ia susun dengan amat ciamik itu terjadwal tiap bulan. Tak disangka, wisatawan yang datang dari berbagai kalangan dari luar Malang, entah itu rombongan siswa, mahasiswa, dan komunitas bisa mencapai 200 orang dalam sekali datang. Anak-anak sanggar ikut menjadi pemandu cilik untuk mengajarkan mencanting, memperlihatkan proses pewarnaan, sampai bercerita tentang motif yang mereka ciptakan.
Ekosistem desa ikut bergerak. Ketika tamu belajar membatik, mereka juga mencicipi rujak jambu, membeli pie apel, kopi tubruk, atau oleh-oleh olahan buah dari UMKM sekitar daerah. Lewat ekosistem wisata edukasi yang semakin meluas, akhirnya desa pun berkolaborasi dengan program Desa Sejahtera Astra. Dengan kolaborasi ini, Astra memberi pelatihan, pendampingan, dan dukungan promosi—bukan mengambil alih, tetapi memperkuat inisiatif warga yang sudah lebih dulu berjalan.
Di sisi lain, Anjani terus bereksperimen agar pengalaman wisata tidak monoton. Ia menggagas pertunjukan “bantengan bocil” tanpa unsur mistik—hanya silat, batik di kepala, dan anak-anak yang berani tampil.
“Lewat itu, mereka bergerak. Mereka tampil. Dan mereka punya alasan untuk bangga pada budayanya… Ketika ada turis asing menginap di rumah warga, mereka mulai belajar bahasa Inggris. Bukan karena disuruh. Tapi karena merasa perlu,” katanya.
Sanggar juga mulai merespons era digital. Selain lokakarya di lokasi, mereka menyiarkan penjualan busana batik siap pakai secara live, sambil menjaga orisinalitas desain Batik Bantengan.
Dari ruang pameran yang hanya dinikmati segelintir orang, kini Batik Bantengan semakin menancapkan taringnya lewat ruang belajar. Dan, dari turis kota hingga siswa desa, Batik Bantengan menjadi celah untuk berkenalan dengan budaya Batu. Orang datang melihat kain, pulang membawa pengalaman sehingga identitas lokal kembali terasa dekat.
Kain Bernilai, Masyarakat Berdaya

Bagi Anjani Sekar Arum, batik bukan tujuan komersial, melainkan jalan untuk memperkenalkan nilai-nilai budaya yang ada di desanya.
“Saya lebih suka disebut seniman karena seniman selalu membawa manfaat untuk masyarakat,” ucapnya dalam Good News From Indonesia.
Prinsipnya sederhana namun tegas mengatakan, “Sosial tidak harus membantu orang dengan memberi uang… bagaimana kita menyenangkan hati orang, bagaimana membuat orang lain bisa bermanfaat.”
Karena itu ia menegaskan, “Yang kita jual bukan kain batik, melainkan Batik. Yang kita jual adalah proses.”
Atas konsistensinya membangun gerakan memberdayakan segala lapisan masyarakat—dengan melestarikan Bantengan sambil mengangkat ekonomi pembatik muda—Anjani menerima SATU Indonesia Awards 2017.
Dua tahun kemudian, ia berkolaborasi dengan Desa Sejahtera Astra Bumiaji untuk membina pembatik anak-anak, membuka kelas, dan menata wisata edukasi batik yang kini rata-rata dikunjungi sekitar 250 orang per bulan, dari yang sebelumnya nyaris tak ada kunjungan.
“Sampai saat ini (2022) Astra telah membina 170 Kampung Berseri Astra dan 1.060 Desa Sejahtera Astra yang tersebar di 37 provinsi di seluruh Indonesia,” ucap Anjani.
Cerita Anjani menumbuhkan nilai—identitas, pengetahuan, dan kebersamaan—lalu membiarkan manfaat ekonominya mengikuti. Di tangan anak-anak Bumiaji, Batik Bantengan menjadi bukti bahwa ketika kain diberi makna, masyarakat pun berdaya. #APAxKBN2025
Sumber artikel:
- https://www.kompas.id/artikel/anjani-peramu-batik-banteng-agung-kota-batu
- https://swa.co.id/read/188377/jual-200-potong-per-bulan-anjani-lestarikan-batik-bantengan
- https://regional.kompas.com/read/2017/12/31/10330031/anjani-sekar-arum-melindungi-anak-anak-dengan-batik-bantengan?lgn_method=google&google_btn=onetap&page=all
- https://dispendikkotabatu.blogspot.com/2015/03/aliya-diza-rihadatulaisy-pembatik-cilik.html
- https://jatim.viva.co.id/cangkrukan/7136-batik-bantengan-lestarikan-kebudayaan-gerakkan-kesejahteraan?page=4
- https://www.kompasiana.com/deny.oey/6545c991ee794a5f8e42c203/batik-bantengan-ketika-tradisi-dan-budaya-menjadi-ciri-khas-baru?page=2&page_images=1
- https://www.neraca.co.id/article/223461/desa-sejahtera-astra-di-bumiaji-membuka-ruang-untuk-berdaya-sambil-lestarikan-batik
- https://malangtimes.com/baca/270886/20220806/112500/batik-bantengan-bertajuk-pameran-metamorfosa-perjalanan-anjani-8-tahun-berkarya-dipamerkan-di-galeri-raos
- https://ketik.com/berita/mengenal-anjani-sosok-pencetus-batik-banteng-khas-kota-batu
- https://www.tempo.co/info-tempo/kolaborasi-peraih-aspirasi-satu-indonesia-awards-831823
- https://kumparan.com/kumparannews/mengenal-anjani-sekar-arum-dan-usaha-pelestarian-batik-bantengan-1r4q4BgnIrm