Sinopsis dan Review Gadis Kretek, Mencari Keberadaan Jeng Yah

review gadis kretek

“Bas, apapun yang kamu temukan tentang masa lalu, jangan dibawa pulang.”

Terkadang, setiap keluarga memiliki rahasia yang ditutupi hampir seumur hidup. Namun, Rama atau sapaan ‘bapak’ kami ini sepertinya sudah tidak sanggup menutupi rahasia kelam yang terjadi di hidupnya.

Entah rahasia apa, tetapi Lebas sebagai anak paling bontot dan yang paling tidak bisa diandalkan justru menjadi anak yang paling dipercaya untuk mencari keberadaan Jeng Yah.

Siapa Jeng Yah? 

Entahlah, ketiga anak laki-lakinya juga tidak ada yang tahu. Saat bertanya pada ibu, ia justru marah dan kecewa, bahkan meminta Lebas untuk tidak mengulik masa lalu.

Apa yang sebenarnya terjadi? Inilah kisah keluarga Djagad Raja, pemilik bisnis rokok DR yang paling terkenal seantero Indonesia.

WARNING! Artikel mengandung spoiler.

Sinopsis Series Gadis Kretek

sinopsis gadis kretek

“Jeng Yah.. Maafkan aku. Dengarkan penjelasanku.”

Berkali-kali bapak mengingau hal yang sama. Aku sebagai anak paling bontot, yang paling malas mengurusi urusan bisnis rokok DR, selalu setia menemani Rama saat sakit seperti ini.

“Rama, kenapa Rama?”

Aku berusaha membangunkan bapak dari tidurnya yang mengigau nama ‘Jeng Yah’ dengan sedikit mengguncang-guncangkan badannya.

Tubuh Rama kurus kering dengan alat bantuan nafas di area hidungnya. Ya, saat ini Rama sedang terserang penyakit kanker mematikan. Intinya, Rama sekarat.

Setelah aku sedikit mengguncang-guncangkan badannya, Rama terbangun dengan kalimat perintah yang mengejutkan dan sorot mata yang sedih memelas, memohon padaku.

“Lebas, Rama mohon, cari Jeng Yah.”

Mendengar itu, aku terpaku dan bingung harus bagaimana cara meresponnya. Aku benar-benar tidak tahu siapa sosok Jeng Yah yang dimaksud oleh Rama, bagaimana aku bisa mencarinya?

Saat ditanya pun, Rama hanya diam. Jadi, aku hanya bisa mendapatkan informasi dari kotak kayu Rama yang berisi jurnal dan foto usang bahwa Jeng Yah dulu tinggal di sebuah kota M sebagai salah satu anak dari pemilik pabrik kretek di tahun 60-an.

Tanpa pikir panjang, dan aku rasa hanya akulah yang bisa membantu Rama, maka aku segera mencari sosok Jeng Yah hingga ke kota M. 

Sesampainya di kota M, jujur saja aku tidak tahu harus kemana. Namun, kakak keduaku, Karim, membantuku dengan memberi akses ke Museum Kretek demi mencari sosok Jeng Yah.

“Eh, mas Lebas, akhirnya bisa bertemu juga. Perkenalkan, saya pengurus Museum Kretek. Ada apa ta, mas Lebas datang jauh-jauh dari Jakarta ke sini?”

“Oh tidak, Bu, saya ingin tahu tentang pabrik kretek di tahun 60. Ada jurnal atau informasi tentang hal itu?”

Sang direktur museum agak kebingungan, karena banyak sekali jurnal yang mereka simpan di museum ini. Namun, akhirnya pihak museum membawanya ke sebuah ruangan penyimpanan khusus arsip tentang pabrik kretek di zaman itu.

Baca Juga: Review Film Petualangan Sherina 2

Lebas pun langsung senang dan merasa lega, karena ia mulai mendapatkan petunjuk lain tentang Jeng Yah. Ia mencari satu per satu jurnal di setiap arsip, dan menemukan foto yang paling relevan dengan apa yang ia cari.

Tiba-tiba saja seorang gadis bersuara di dekat Lebas, “Loh, kamu dapat dari mana foto ibuku?”

Mendengar itu, Lebas bersemangat merasa menemukan titik terang dan menghampiri si gadis itu agak sedikit agresif, “Oh nyokap lo yang mana?”

Merasa tidak nyaman dengan sikap Lebas, si gadis itu mulai bete. Alih-alih mendapatkan informasi, Lebas justru dijuteki oleh si gadis. Tetapi, yang namanya Lebas pantang menyerah, ia mencoba membujuk si gadis untuk memberikan informasi dengan menceritakan tentang misinya mencari seseorang. 

Akhirnya, si gadis yang diketahui bernama Arum itu pun setuju membantu Lebas mencari tahu sosok Jeng Yah yang kemungkinan ada kaitaannya dengan ibu dan keluarganya.

Setelah berduaan mencari tentang keluarga Arum dan sosok Jeng Yah, justru Arum menemukan informasi-informasi tentang kakek-neneknya di tahun 60-an, yang diketahui bernama Idroes Moeria dan Roemaisa.

sinopsis film gadis kretek

Yang lebih mengejutkannya lagi, beberapa jurnal tentang pabrik kretek yang dibangun oleh Idroes juga menyebut nama Raja, nama bapak Lebas.

Dari sini, Lebas sadar bahwa bapaknya memang memiliki hubungan dengan keluarga Idroes, terutama dengan salah satu anaknya, yaitu Jeng Yah, yang akhirnya diketahui nama aslinya sebagai Dasiyah.

Awalnya Arum enggan membantu Lebas lebih jauh, karena ini menyangkut keluarganya. Namun, ada satu titik yang membuat Arum ingin mengetahui lebih lanjut tentang keluarganya, ternyata Raja lah yang membuat keluarga Arum tercerai berai dan hancur.

Ia ingin tahu, kenapa ibunya, Rukayah, tidak pernah menceritakan kisah keluarganya? Dan, kenapa Raja bisa setega itu terhadap keluarganya?

Ia menangis merasa dikhianati, namun tidak bisa melampiaskan rasa kesalnya. Yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata dia bukanlah anak kandung dari Rukayah yang selama ini dia anggap sebagai ‘ibunya.’

Lalu, siapa Arum sebenarnya? Siapa sosok Jeng Yah? Apa yang telah dilakukan Raja terhadap keluarga Jeng Yah? Semuanya menjadi misteri besar untuk keluarga Lebas.

Di akhir, Lebas sadar bahwa Rama serta seluruh keluarganya, termasuk sang ibu, harus menyelesaikan kisah kelam keluarganya ini dan meminta maaf kepada keluarga Arum.

Perubahan Cerita yang Masif

review gadis kretek

Aku sudah cukup lama menantikan series ini tayang di Netflix. Sebagai salah satu pembaca, dan memasukkan novel “Gadis Kretek” menjadi one of favorites all the time, aku cukup terkejut dengan perubahan cerita yang cukup masif dalam series-nya.

Sebelum aku jelaskan bagian-bagian yang berbeda, perlu digarisbawahi bahwa secara alur cerita masih tetap mempertahankan originalitasnya. 

Perbedaan yang paling mencolok yang aku temukan pertama kali adalah petualangan mencari Jeng Yah. Di novel, tiga anak Raja, yaitu Tegar, Karim, dan Lebas diceritakan mencari Jeng Yah bersama-sama menuju Kota M.

Namun di series ini hanya Lebas saja yang berpetualang mencari Jeng Yah. Perubahan ini menurutku agak disayangkan, karena di dalam novel, interaksi antara Tegar, Karim, dan Lebas sangat menghibur serta menguatkan persaudaraan mereka.

Lalu, perbedaan lainnya adalah penambahan karakter bernama Seno yang kelak akan menjadi tunangan sekaligus suami Jeng Yah. Di novel tidak ada karakter Seno, namun dijelaskan bahwa Jeng Yah akhirnya menikah dengan seorang pria bernama Sentot, meski sosok Sentot tidak pernah muncul dalam novel.

Baca Juga: Review Insidious The Red Door

Dan yang paling jelas berbeda adalah vibes-nya. Aku menyukai novel “Gradis Kretek” karena ceritanya yang kompleks namun dibawakan dengan ringan.

Kompleksitas cerita di novel ini sangat asyik, di mana aku bisa membayangkan zaman penjajahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, bahkan masa reformasi. Semua terasa jelas di dalam novel.

Sayangnya, hal tersebut tidak akan kamu dapatkan jika hanya menonton series-nya. Justru di series hanya menekankan kisah cinta saja, seolah kata “kretek” hanya pajangan.

Padahal di novel lebih menekankan betapa sosok Jeng Yah ini memang mendedikasikan diri pada kesukaannya soal kretek. Bahkan, sejak kecil pun digambarkan bahwa Jeng Yah suka mengelinting kretek untuk ayah dan tamu ayahnya.

Jujur saja, cerita di series terlalu dramatis seperti sinetron, namun dengan kualitas next level, wajar buatan Netflix. Tetapi, sedikitnya aku paham dengan banyaknya perubahan ini, mungkin karena durasi yang terbatas dan ingin memberikan sentuhan plotwist yang tak terluipakan sehingga diberi banyak bumbu drama di dalamnya.

Skoring yang Kurang Mengena

gadis kretek

Bagiku, “Gadis Kretek” merupakan cerita yang kental dengan adat Jawa. Apalagi di dalam cerita “Gadis Kretek” banyak menggambarkan latar penjajahan, bahkan PKI.

Jadi skoring atau sound yang aku bayangkan akan lebih ‘Jawa’ banget dengan sedikit sentuhan soundtrack menegangkan saat penggambaran masa PKI.

Sayangnya, apa yang aku bayangkan tidak sesuai dengan yang ditampilkan. Inilah penyakit para pembaca novel, di mana mereka selalu memberikan ekspektasi tertentu terhadap apa yang mereka baca, dan aku mengalaminya.

Di series “Gadis Kretek” justru membawa skoring yang menurutku terlalu modern. Bahkan, kesan Jawa-nya pun tidak terlalu kental. Tidak ada skoring yang memorable untukku, meskipun sepertinya ada lagu khusus untuk “Gadis Kretek” tapi aku tidak bisa mengingatnya.

Meskipun begitu, skoring yang ada di sini tidak menganggu cerita secara keseluruhan, kok. Jadi, masih sangat layak tonton.

Aktor dan Aktris yang Berbakat

pemeran gadis kretek

Aku sangat puas dengan pemilihan para aktor dan aktrisnya, semua sangat berbakat. Karakter Jeng Yah diperankan oleh Dian Sastro, jadi tidak perlu banyak berkomentar, aku acungi dua jempol. Bagus banget!

Lalu, karakter Raja saat masih muda diperankan oleh Ario Bayu. Menurutku dia sangat pas memerankan sosok Raja yang begitu ambisius dan memiliki prinsip hidup yang sangat kuat.

Ario Bayu berhasil menyampaikan karakter Soeraja dengan baik, lewat sorot matanya, gestur tubuhnya, hingga kerutan di keningnya.

Namun, yang sangat aku suka dari semua cast di sini adalah Lebas, yang diperankan oleh Arya Saloka. Jujur, aku awalnya skeptis dengan performa aktingnya, karena dia adalah aktor sinetron dengan gaya cerita dan karakter terlalu flat.

Tetapi, saat melihatnya memainkan peran sebagai Lebas, aku sadar bahwa Arya Saloka punya kemampuan akting di atas rata-rata, jika ia diberi kesempatan lagi untuk bermain di layar lebar.

Emosinya sebagai anak bungsu yang suka foya-foya ini bisa meledak dengan timing yang pas. Bahkan, perkembangan karakternya yang dari anak mami hingga menjadi sosok anak yang diandalkan pun diperankan sangat baik dan mulus oleh Arya Saloka.

Hebatnya, kemistri Arya Saloka dan Putri Marino juga menjadi poin utama yang membuatku tertarik. Jujur saja, aku lebih suka pasangan Lebas dan Arum dibandingkan Soeraja dan Jeng Yah.

Baca Juga: Review Film Kembang Api

Lebas dan Arum lebih bisa menampilkan kemistri dan hubungan yang kuat. Baik Arya dan Marino mampu terikat satu sama lain, seolah mereka memang berbagi penderitaan yang sama.

Namun sayangnya, dari sekian banyak cast yang hadir di sini, karakter yang paling sia-sia dan sekedar angin lalu, adalah Karim.

Dimas Aditya yang berperan sebagai Karim tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk menunjukkan karakternya. Memang dia hanya pemeran pelengkap, tapi kalau kamu baca novelnya, sosok Karim ini adalah penengah yang baik di kala keluarga Soeraja sedang bertengkar.

Beberapa adegan Karim terlihat melerai Tegar dan Lebas yang sedang adu mulut, tapi rasanya sia-sia. Mohon maaf, tapi aku melihatnya sosok Karim hanya seperti pajangan ‘yang penting ada dan sesuai dengan novelnya.’ 

Cukup mengecewakan sih, padahal Dimas Aditya punya kemampuan akting yang mumpuni.

Overall, aku cukup puas dengan series-nya meski tidak sesuai dengan ekspektasiku, tetapi aku bisa memahaminya karena jika mengikuti cerita di novel akan terlalu panjang dan monoton.

Meski begitu, series ini juga tidak sempurna. Tidak semua karakter ter-develop dengan baik. Bahkan, Oh iya! Aku lupa menyampaikan bahwa ada hal yang sangat tidak masuk akal, yaitu jalanan aspal yang mulus saat latar 60-an diperlihatkan dalam series.

Mungkin terkesan sepele, ya? Tapi, buatku itu detail yang amat menganggu. Karena, di sana aspal jalanannya terasa sangat mulus sehingga sekitar jalanan tidak nampak seperti setting tahun 60-an. 

Itu saja review “Gadiss Kretek” yang bisa aku sampaikan. Kalian bisa menontonnya di Netflix. Selamat menonton!

Update Kpop Terbaru di Google News Hobihepi.com

Also Read

Bagikan:

Listiorini Ajeng Purvashti

Being a KPOPers, love to watch drakor, movies, anime, etc, since high school. Become a professional content writer since 2017 with various topics, but her speciality topics are KPOP, entertainment, lifestyle, and technology.

Tags

Leave a Comment